Selasa, 04 November 2014

WALL OF DEAD 

 


Wall of Death atau disingkat WOD menjadi trend baru supporter masa kini yang menyebut dirinya bagian dari Ultras. Fenomena ultras di Indonesia kini sedang menyebar di berbagai daerah. Tak bisa dipungkiri ini adalah pengaruh dari Brigata Curva Sud yang menjadi inspirasi baru supporter Indonesia. Supporter besar sekelas Aremania, Jakmania, Bobotoh/Viking,Bonek Mania tengah disaingi supporter baru era Ultras tersebut. Bukan saingan dalam artian “rusuh” namun beradu kreatifitas.

Kembali ke topik Wall of Death, WOD sebenarnya adalah aksi dari penonton konser metal,hardcore atau kita sering menyebutnya Underground. Wall of Death adalah aksi dimana penonton membagi dua kubu menjadi dua sisi kiri dan kanan mengosongkan ruang ditengahnya. Setelah aba aba musik cadas dialunkan kedua kubu yang terpisah itu menjadi satu kembali dengan “brutal” namun ini hanya just for fun, olah raga anak HC menyebutnya. Jika ada teman yang terjatuh maka kewajiban kita untuk membangunkanya karena ini hanya just fur fun. Salah jika Ultras di Indonesia sering menyebut Wall of Death adalah termasuk tradisi dari Ultras. Ultras tidak pernah melakukan hal ini.

Wall of Death dibawa ke tribun tidak bisa dipungkiri berasal dari Brigata Curva Sud. BCS membawa ini ke tribun karena memang rata rata anggotanya memang penggemar musik underground. Bahkan salah satu pionirnya kabarnya adalah anggota management Death Vomit group band death metal dari Yogyakarta. Dan komunitas underground di Yogyakarta seperti YKHC (yogya hardcore), JCG (jogja corps Grinder), IMY (independent metal yogyakarta) dan komunitas lain anggotanya adalah bagian dari Brigata Curva Sud.

Menarik memang aksi ini kita tonton di atas tribun. Aksi yang belum pernah ada sebelumnya di tribun tribun manapun didunia. Wall of Death kini sudah menginspirasi banyak orang dan akhrinya sampai di berbagai daerah di Indonesia. Ya, ini yang kita butuhkan sekarang bukan rivalitas anarkis yang kita butuhkan untuk mendukung sebuah club, bukan caci maki , dan bukan juga intimidasi namun kreatifitas.

Apakah Itu Flower City Casual ?

 
Sebelum kita membahas apa itu FCC, ada baiknya untuk dulu apa itu Casuals Culture, tentu saja karena menggunakan bahasa inggris, Casuals Culture pertama kali berkembang di Inggris, tepatnya Liverpool akhir tahun 70-an dan awal 80-an, dimana konflik antar pendukung klub di Inggris tengah panas-panasnya, sehingga akses para pendukung sepakbola untuk memasuki bar dan melakukan perjalanan tandang semakin sulit akibat larangan dari otoritas setempat dan ancaman pendukung klub lawan. Sejak itu, produk sandang dari desainer terkemuka di Inggris seperti Burberry, Stone Island, CP Company, Sergio Tacchini, Fila, Trainers Adidas Originals, Ellesse, Scott & Lyle menjadi pilihan alternatif pengganti jersey dan merchandise klub yang dinilai terlalu berbahaya untuk dipakai, disamping itu infiltrasi ke kelompok saingan pun semakin mudah dilakukan.

Lalu bagaimana dengan kultur skinhead dan hooliganisme? Banyak orang yang mengidentikan casuals dengan kultur skinhead dan hooligan, kultur casuals memiliki keterkaitan dengan kultur skinhead, karena pada awal kemunculannya kultur ini kaum skinhead lah yang memilih berpakaian tanpa warna klub di stadion, mereka memilih menggunakan boots martens dan perry kebanggaan mereka di tribun namun pada saat itu otoritas disana mengidentikan skinhead dengan perusuh sepakbola. hingga ada penitipan paksa boots sebelum masuk ke tribun stadion, karena tahu sendiri akibatnya jika sol Martens mendarat di wajah. Sehingga penampilan sporty ala petenis kondang saat itu menjadi pilihan cerdas, casuals sendiri menyatukan banyak subkultur dalam kultur sepakbola. Berbagai genre musik dari post punk, oi!, new wave, hardcore hingga britpop identik dengan kultur Casuals.

Lalu apa hubungannya dengan hooliganisme? Hmmmà sebenarnya saya menghindari term hooligan dalam bahasan ini, karena hooligan adalah term yang diciptakan media untuk perilaku yang buruk dalam kultur pendukung sepakbola seperti perkelahian antar pendukung sepakbola, pengrusakan fasilitas umum, dll., beberapa Casuals memang mempraktikan hooliganisme dalam aktivitasnya, oleh karena itu saya sangat menghindari term hooligan di ranah ini.

Kultur Casuals masuk ke ranah budaya pop saat sineas tertarik untuk mengangkatnya pada layar lebar, sebt saja The Firm 1984, I.D, Cass, The Rise of Footsoldier, Green Street I & II, Football Factory, Awaydays dan The Firm 2009 dan beberapa judul lainnya. Diantara banyak film tersebut, menurut saya The Firm dan Awaydays lah yang paling mendekati kultur Casuals, dimana unsur
fesyen sebagai bagian dari kultur Casuals sangat ditonjolkan oleh sang pembuat film.


FCC as local casuals

Lalu apa itu FCC? FCC merupakan kependekan dari Flowers City Casuals, yang maknanya kurang lebih sebagai Casuals dari Kota Bandung, berawal dari kesukaan akan budaya inggris, hoby bergaya dengan brand eropa dan kecintaan pada Persib Bandung, sekitar tahun 2005 berdirilah FCC. Berbeda dengan klub penggemar Persib Bandung lainnya, FCC tidak memiliki struktur organisasi dan keanggotaan formal.

Dimanakah FCC bisa ditemui? Oya, kami selalu berada di sisi utara Stadion Siliwangi di setiap laga tandang, jangan berharap mendapatkan koreografi yang indah disini, apa lagi berharap bisa bernyanyi bersama chants ôUwa û Eweö atau ô******Bonek sama Sajaö, karena kami tidak seperti itu, kami berbeda dengan pendukung militan dari bagian timur pulau jawa tersebut, tak ada panglima, tak ada koreografi, mungkin hanya flare terbakar, chants dan caci-maki terhadap klub lawan yang akan didapatkan disini.

Diluar tribun, kami bisa ditemui pada waktu-waktu tertentu, seringkali pada siaran langsung laga tandang Persib Bandung ataupun bigmatch Premier League berlangsung, di kedai seputaran kota Bandung yang menjual bir dengan harga yang tidak terlalu mahal dan menyiarkan tayangan langsung sepakbola, selain PERSIB, obrolan tentang items casuals pun menjadi perbincangan seru diantara kami, info tentang lapak Trainers Adidas Originals ataupun secondhand jaket Sergio Tacchini, Fila, Slazenger menjadi tema penting. beberapa diantara kami adalah penganut taat paham Straight Edge, dan kami respek dengan itu semua.

Ada hal-hal yang sangat dibenci oleh FCC di tribun Stadion, memakai jersey atau merchandise klub yang tidak ada hubungannya dengan pertandingan saat itu, apalagi ditambah dengan tidak menggunakan alas kaki (karena kami menganggap setiap laga Persib adalah seremonial suci yang harus sangat dihargai, bayangkan saja kamu datang ke pesta perkawinan tanpa alas kaki) dan menyanyikan lagu persahabatan antara dua grup pendukung sepakbola dengan embel-embel ôSatu Hatiö WTF! Dan satu lagi, membawa gitar ukulele di tribun, Tai Suci! (maksudnya Holyshit) Apa lagi itu! siapapun bisa menjadi bagian FCC, tentunya mencintai Persib dan kultur Casuals. Bersikap Casuals dan mari bergabung bersama kami disini, di tribun utara!

sumber - http://bluearea-persib.blogspot.com/2012/07/apakah-itu-flower-city-casual.html

ANTI-MEDIA itu....


Anti media, hmm.. Apa sih sebenernya yang dimaksud Anti Media? Apa kita Anti terhadap surat kabar, Berita Tv, bahkan sampe membenci TV nya gitu? Apa Kita harus anti juga terhadap media lain seperti Handphone, kamera, komputer, sampai Internet? Begitu? Aku rasa gak semuanya Benar (begitu)..


Terus apa dong Anti Media? Anti Media itu berarti anti terhadap media (seperti Surat Kabar, Berita TV dll) yang hanya membicarakan kejelekan atau menampilkan berita negative tentang suatu kehidupan. Ini berawal dari kehidupan punk, Skinhead, dan gerakan bawah tanah lain yang selalu mendapatkan berita negative-nya saja tentang aktifitas mereka di media-media itu.

Mereka lalu membuat slogan itu, “Anti Media”. Lalu mereka membuat media sendiri (media Tandingan) yang beda dan menampilkan sisi positive mereka untuk orang umum ketahui bahwa mereka tak seburuk yang orang baca dari Media Umum.. Ini bentuk protes mereka terhadap media-media yang ada..

Di Dunia supporter (Indonesia khususnya) slogan ini mulai diterapkan dan disebut-sebut.. tapi sayang masih banyak yang mengira Anti Media itu anti terhadap semua media, Bahkan seperti Dokumentasi video, Foto, dan penyampaian pesan lainnya..

 Dengan alasan Narsis lah, inilah, itulah, dan ribuan alasan lainnya yang kalo dibaca tuh bikin AARRGGGHHH Banget! Hahaha.. Padahal bukan itu yang dimaksud Anti-Media.. Dokumentasi, Publikasi itu juga perlu, agar dunia luar tau sebenernya gerakan kita.. begitu aja sih.. :)
So.. Resapi tiap Slogan, bukan hanya mengartikannya.. Ketahui akarnya, jangan hanya permukaannya saja.. IQRO! Hehe

sumber link - http://farisitem.blogspot.com/2014/02/anti-media-itu.html#more

Apa Itu Rasis ? By, Hinca Panjaitan


Kedatangan Hinca Panjaitan ke Malang untuk menengok pagelaran babak delapan besar Indonesia Super League [ISL] 2014, Minggu (12/10), dimanfaatkan betul oleh sejumlah awak media. Utamanya untuk mengetahui prosedur bagaimana komisi disiplin [komdis] yang diketuainya untuk menanyakan beberapa hal.

Salah satu hal yang ditanyakan adalah soal lagu rasis. Hal ini terkait dengan banyaknya sanksi yang diberikan oleh komisi disiplin tentang rasis.

"Saya senang bisa berbicara dengan media, karena ini menjadi kesempatan bagi kami untuk menjelaskan hal itu. Biar, semua orang tidak menuduhkan kami hanya senang memberi sanksi tetapi enggan datang ke Stadion tanpa melihat langsung bagaimana proses," kata Hinca Panjaitan.

Hinca menjelaskan jika selama 90 menit pertandingan, Aremania memberikan suport kepada tim dengan sangat baik. Hinca sendiri menyatakan menolak jika lagu Aremania ada yang rasis karena dia punya pengertian soal itu.

"Rasis adalah perkataan ataupun ucapan yang bisa disuarakan lewat lagu-lagu yang membuat lawan merasa tidak nyaman di lapangan, selama 90 menit tidak ada perkataan rasis Aremania yang ditujukan kepada Persipura," kata Hinca.

Soal lagu kepada Bonek, Hinca menilai hal itu tidak dianggap rasis karena Persebaya tidak sedang bertanding. Tetapi, sebenarnya pernyataan Hinca terlihat ambigu mengingat beberapa bulan lalu Arema terkena denda 250 juta dengan alasan menyanyikan lagu rasis. Jelas laga itu bukan melawan tim yang di lapangan karena ada pada saat Arema bertemu dengan Persija, 18 Mei 2014.

"Bukan, bukan karena itu. Nanti saya lihat dokumennya. Memang perlu diskusi yang sangat panjang untuk hal ini, tidak cukup di bahas dalam jumpa pers," kata Hinca yang membuat diskusi itu mengambang sejenak dan langsung beralih mendiskusikan flare.

Anda setuju?

Link - www.wearemania.net


Ultras From A to Z

 
 Avanti Ultras - Slogan Khas Italia yang terkenal, digunakan oleh banyak ultras di seluruh dunia. dalam bahasa inggris : Forward Ultras!

Ban - Mendapat Larangan Untuk menyaksikan Tim Kesayangan di atas Tribun, Mimpi buruk bagi semua Ultras. ...

Choreographies - Ultras tahu bagaimana membuatnya menjadi Spektakuler!

Drums - Membuat Chants menjadi lebih meriah.

Enthusiasts - Ultras Mendukung Tim bukan karena Bayaran, tapi karena rasaCinta, dan mendukung tim sepakbola adalah Jalan Hidup Ultras.

Football - Hal yang Paling penting di Dunia!

Goal - Momen paling indah sekaligus Horor dalam sebuah pertandingan.

Hope - Sesuatu yang tak Pernah padam dalam sanubari Ultras.

Internet - Yeah, berkat Internet pergerakan Ultras begitu cepat di seluruh dunia

Justice - Untuk semua Supporter Sepakbola yang menjadi korban kebiadaban A.C.A.B..

Kop - Bagian dari Stadion dimana biasanya Ultras berada.

Liberta per gli ultras - Kebebasab bagi seluruh Ultras.

Mentality - Mentalitas adalah Jalan Hidup seorang Ultras!

No profit - Tolak Sepakbola Modern.

Originality - Dalam Koreografi, Chants Orisinalitas sebenarnya hal yang diagungkan oleh Ultras, walau kini sangat sulit untuk dilakukan

Pyroshow - membakar Flare adalah hal paling sakral yang dilakukan oleh Ultas dalam satu pertandingan

Quality - Hal yang Paling penting dalam satu komunitas Ultras, parameternya Bisa dari Koreografi, Chants, Pyroshow, etc.

Repression - P.H.H.

Stadium - Rumah Kedua Ultras

Torch - Flare, bukan sekedar aksi bakar kembang api, namun simbol dari mentalitas ultras

Ultras - no need to explain this one

Violence - Ya, terkadang Ultras melakukan kekerasan dan kerusuhan, namun itu bagian dari permainan ;p

Win - Di Lapangan, di Tribun, di jalanan, kemenangan adalah hal yang utama

XXX - sex, beer and football

Young guys -Generasi Baru yang menjaga semangat ultras tetap menyala

Zero tolerance
- Orang tua, Pacar, Istri, Polisi, Guru, Atasan terkadang tidak memiliki tolerannsi terhadap jalan hidup Ultras, namun siapa yang pedul

Casuals

Casuals merupakan salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang identik dengan hooligansime dan pakaian-pakaian mahal bermerek. Sub kultur ini lahir pada akhir dekade 70-an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk masuk kedalam pub.Jenis-jenis musik yang disukai oleh para Casuals pada akhir dekade 70-an adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa Casuals itu merupakan pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada era 80-an, selera musik Casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Pada akhir dekade 80-an dan 90-an awal, mereka cenderung menyukai scene Madchester (co: The Stone Roses), dan Rave. Dan di era 90-an saat sub kultur alternatif baru yang bernama Britpop, yang digunakan untuk melawan arus Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop. Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap Casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari Casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadang-kadang banyak band-band yang bergaya Casuals saat dipanggung dan dalam sesi pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR (kadang disebut juga indie rock) telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh Casuals.

SEJARAH

Sejak pertengahan dekade 50-an, para pendukung sepak bola di Inggris sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal 60-an. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikut-pengikut sub kultur lain seperti Skinhead juga membawa gaya berpakaiannya kedalam teras sepak bola. Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir 70-an, Casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne. Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaian-pakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko.

Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini. Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan subkultur Casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur Casuals memudar hingga batas tertentu.

1990s and 2000s

Pada pertengahan 1990-an, sub kultur Casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi Casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan Pharabouth. Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam Casuals, karena polisi mulai memerhatikan tindak tanduk Casuals. Selain itu beberapa desainer juga menarik produk-produk mereka setelah tau bahwa produk-produk mereka di pakai oleh Casuals. Meskipun beberapa Casuals terus memakai pakaian Stone Island di tahun 2000-an, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun, dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali pakaian Casuals lainnya. Pada akhir 90-an itu beberapa pasukan polisi mencoba untuk menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib Celtic. Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara Casuals. Seperti halnya produk-produk pakaian dari merek-merek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon, Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan popularitas luas.

Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans 1 & 2. Pada tahun 2000-an, label pakaian yang terkait dengan pakaian Casuals termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade 2000-an banyak Casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Namun merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan Casuals

Torcida

 



Dari Kroasia sejarah suporter modern Eropa berasal. Namanya torcida yang bisa diartikan kelompok suporter. Di kemudian hari, istilah ini kalah populer dibanding ultras dan tifosi (keduanya istilah Italia), barrabravas (Argentina), atau firm (Britania) yang memiliki pengertian sejenis. Bila berperilaku negatif, suporter itu disebut hooligan.
 
Klub-klub dan tim nasional negara-negara Eropa memiliki suporter fanatik dengan riwayat panjang, seumuran dengan sejarah sepak bola itu sendiri. Begitu pula dengan kelompok suporter di Kroasia yang telah ada sejak akhir Abad XIX.
Hanya, Eropa mulai mengenal organisasi suporter dengan struktur yang jelas dan berpenampilan menarik di lapangan-–bernyanyi, menari dengan koreografi, dan memiliki komandan lapangan--setelah suporter Hajduk Split, mantan anggota klub Yugoslavia yang kini berada di wilayah Kroasia, mendirikan torcida Split pada awal 1950-an.

Mereka mengadopsi kultur suporter Brasil. Beberapa pemimpin suporter Split terkesan akan kebersamaan dan keindahan gerak suporter tim Samba saat berlangsungnya Piala Dunia 1950 di Brasil. Mereka lantas melakukan hal yang sama sepulang dari turnamen itu. Di Yugoslavia, kultur itu berkembang. Para suporter negara lain kemudian terinspirasi.

Tentu saja, ber-Mexican wave, bernyanyi bareng, dan berteriak bersama tak menghabiskan darah panas orang-orang Balkan. Vandalisme di lapangan masih dilakukan. Torcida juga melahirkan efek buruk. Kelompok suporter yang terorganisasi memudahkan para politikus memanfaatkan mereka. Di Serbia, Presiden Slobodan Milosevic membentuk pasukan paramiliter yang berasal dari suporter garis keras Red Stars Belgrade, bernama delije, saat pecahnya perang saudara di antara negara-negara bekas Yugoslavia

A.C.A.B

 


A.C.A.B dengan singkatan A.C.A.B. All Cops Are Bastard itulah kepanjangannya, hmm nampaknya dari kata tersebut mungkin langsung pada mengerti apa artinya secara hirarki kata “SEMUA POLISI ADALAH BAJINGAN !!!”, thats right dude… mengapa demikian??

Berasal dari setidaknya tahun 1940-an, dan digunakan sebagai slogan selama mogok para penambang Inggris, ACAB adalah singkatan sering diintegrasikan ke dalam penjara di Inggris, hal ini paling sering diberikan dengan satu huruf antara buku jari dan sendi pertama setiap jari, alternatif kadang terlihat sebagai titik kecil di seluruh buku jari simbolis masing-masing.

Sebenarnya ada beberapa versi kelompok yang mengamalkan A.C.A.B dalam suatu pergerakan mereka. Pada umumnya kelompok ini adalah kelompok dengan ras extrimis kiri, dimana ras ini menolak keras akan suatu ketidak adilan yang didapatkan dari Cops atau polisi. Kelompok extrimis itu salah satunya kelompok Ultras.

 Ultras adalah kelompok suporter anti terhadap polisi, alasan mereka menolak keras terhadap polisi adalah para polisi yang selalu mengacau dimana cita-cita ultras yang bertolak belakang dengan polisi. Para polisi biasanya menggunakan/atas nama keamanan mereka semena-mena terhadap kelompok yang memperjuangkan hak dan cita-cita mereka.
 Pasalnya jika terjadi insiden kecil saja, mereka memperbesar sutau insiden yang seharusnya dapat diselesaikan dengan kepala dingin, mereka mencammpuri, memprovokasi dan berpura-pura menangani situasi dimana hati mereka bersungguh-sungguh menghakimi dengan keji.


Dalam politik modern, baik neo-Nazi Skinhead dan sayap kiri / anarkis bajingan menggunakan “ACAB” sebagai slogan. Pada 7 Januari 2011, tiga penggemar sepakbola Ajax didenda karena memakai t-shirt dengan angka 1312 dicetak pada mereka. 1312 singkatan ACAB. Salah satu fenomena yang dekat dengan A.C.A.B adalah seluruh kelompok ultras di Italia menolak keadaan posisi polisi di dekat mereka di saat pertandingan sepakbola.

Para ultras yang mempunyai basis tempat tersendiri (biasanya berposisi di belakang gawang, baik utara maupun selatan) melarang keras polisi mendekat, jika mereka mendekat sejengkal, perlawanan akan membrutal nyawa pun harus jadi tumbal. Terbukti pada kerusuhan di genoa 1 polisi mati akibat para ultras yang membrutal akibat tingkah polisi yang frontal.

Postingan ini saya terinspirasi dari seoranag yang sangat saya kagumi dimana kekaguman saya terhadapnya melebihi kekaguman terhadap presiden yang sangat menyebalkan yang lebih menyebalkan dari koneksi saya yang menurun secara ekspektasi, dimana dia menulis tentang police, dimana dia mengungkapkan kekesalanya dengan sedikit tulisan yang lugas, mengiris, dan extrimis !!!!, saya mulai terinspirasi dengan pemikirannya yang saya terapkan dalam jalan klompok ultras, karena saya sendiri seorang ultras. Dan slogan ALL COPS ARE BASTARD !!!! slalu melekat dalam diri.
PENGERTIAN HOOLIGAN
 

Ada yang bertanya APA ITU HOOLIGAN ??
HOOLIGAN memiliki arti yaitu fans bola yang brutal ketika tim bolanya kalah bertanding. HOOLIGAN merupakan stereotip sepakbola dari INGGRIS, tapi kemudian menjadi fenomena global, sebagian besar dari HOOLIGAN adalah para backpacker yang telah berpengalaman dalam bepergian mereka sering menonton pertandinganyang beresiko besar banyak dari mereka sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik untuk mengantisipasi adanya kerusuhan,,gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim mereka dan memilih pakaian asal-asalan agar tak dideteksi oleh polisi meski demikian, mereka tidak menggunakan senjata...para HOOLIGAN biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama dalam stadion tapi mereka berpencar-pencar.

Berikut Ini Hooligan Inggris Yang Paling Berbahaya .

1. Millwall Bushwackers

Mereka adalah supporter fanatik klub sepakbola Millwal. Nama Bushwackers mereka ambil dari "plesetan" nama penyerbuan ketika perang saudara di Amerika. Dan nggak ada yang mau cari gara-gara dengan Hooligan satu ini. Mereka bahkan punya senjata khusus yang dirancang sendiri untuk menyerang supporter lawan, mereka menyebutnya dengan "The Millwal Brick".

Pada puncak kegiatan mereka di 1980-an, Bushwackers kerap membuat ulah serius selama pertandingan, dan bertanggung jawab atas beberapa kerusuhan terburuk dalam sepakbola Inggris. Dan mereka bangga dengan kelakuannya itu.

Walaupun setelah itu mereka tidak "segarang" sebelumnya, namun 2 supporter Wolverhampton tewas dibuatnya. Ditusuk oleh Pisau Stanley. Sementara di tahun 2002 lebih banyak lagi pertumpahan darah ketika malam pertandingan play off versus Birmingham City. Polisi menggambarkan kejadian malam itu sebagai kekerasan terburuk dan menjadi reputasi Bushwackers yang tidak akan tertandingi.


2. Birmingham Zulus

Kembali ke tahun 70-an, teriakan "Zulu, Zulu!" dijalanan Birmingham hanya memiliki arti ; Ksatria Zulu, Birmingham City yang terbaik dan provokasi untuk menantang bertempur.

Dikenal karena anggotanya yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, Hooligan satu ini adalah salah satu yang paling ditakuti era 80-an - dan mereka tetap penyebab utama kerusuhan. Bentrokan kekerasan seringkali terjadi dengan pendukung klub rival Aston Villa pada hari derby, dan Zulu yang dikenal keras mempertahankan wilayah mereka dari serangan Hooligan lain.

Di antara sekian banyak insiden yang dipicu oleh Ksatria Zulu ini adalah serangkaian kerusuhan di Cardiff pada tahun 2001 yang menyebabkan satu Pub hancur, satu orang diserang dan sembilan lagi dibawa ke rumah sakit.

Kemudian pada tahun 2006, sekitar 200 fans Birmingham merobohkan pagar yang memisahkan mereka dari fans Stoke setelah pertandingan Piala FA, perang pun pecah, dan polisi tidak luput dari serangan Zulu. Seorang perwira senior menggambarkan kerusuhan ini sebagai "kekerasan ekstrim".


3. Aston Villa Hardcore

Hooligan terkenal lainnya yang berbasis di Birmingham adalah Aston Villa Hardcore. Berafiliasi dengan klub Aston Villa atau dikenal sebagai The Villains. Dan reputasi mereka juga tidak kalah sengitnya dibanding rival sekotanya.

Pada "Pertempuran Rocky Lane" pada tahun 2002 menyebabkan beberapa gangguan serius di daerah Aston setelah pertandingan antara Villa dan Birmingham City yang menyebabkan penangkapan 15 orang Hooligan.

Kemudian pada tahun 2005, anggota Hooligan, Steven Fowler, yang telah dipenjarakan selama enam bulan dalam perang tahun 2002, harus kembali mendekam di penjara untuk 12 bulan kemudian karena terlibat dalam serangan terorganisir antara Hardcore Villa dan headhunter Chelsea di King's London's Cross tahun 2004.

Juga pada tahun 2004, beberapa Hooligan Villa terlibat dalam pertempuran dengan fans Quens Park Ranger di luar Villa Park di mana seorang pramugara meninggal ketika menyeberang jalan.


4. Inter City Firm

Sekelompok hooligan yang aktif dari tahun 1970an sampai tahun 1990, yang mereka menamainya dengan Inter City Firm (ICF). Supporter fanatik dari klub London, West Ham United.

Dinamakan Inter City sesuai dengan nama kereta yang mereka pakai untuk menyaksikan pertandingan away. Inter City Firm mempunyai kebiasaan unik dimana mereka meninggalkan kartu di tubuh lawan yang mereka serang dengan tulisan yang tertera: "Selamat, Anda baru saja bertemu dengan ICF."

Meskipun sama-sama menyukai kekerasan, Cass Pennant, seorang yang berpengaruh di ICF menyatakan ICF berbeda dengan Hooligan lainnya yang umumnya mereka rasis dan berhaluan Neo-Nazi. Namun tetap saja mereka bukanlah teman-teman yang baik.

Banyak contoh ekstrim perilaku kekerasan mereka telah didokumentasikan, bentrokan sering terjadi dengan Hooligan saingannya Bushwackers Millwall.


5. 6.57 Crew

Dihubungkan dengan tim Liga Utama Inggris Portsmouth FC, dan dinamai berdasarkan waktu kereta yang membawa mereka ke Stasiun Waterloo London pada hari Sabtu yaitu pukul 06:57. 6,57 Crew adalah salah satu kumpulan Hooligan terbesar selama tahun 1980-an, dan telah menyebabkan kekacauan di seluruh negeri.

Pada tahun 2001, mereka bertempur dengan fans Coventry City di kandang Conventry, merobek kursi dan melemparkan "molotov" ke lawan mereka.

Pada tahun 2004, 93 anggota mereka ditangkap - termasuk anak 10 tahun yang menjadi Hooligan termuda dalam sejarah Hooliganisme Inggris - mereka berulah dan memulai kerusuhan massa sebelum dan setelah pertandingan melawan saingan Southampton, di mana polisi diserang dan toko-toko dijarah.

Lebih dari seratus hooligan Portsmouth dilarang bepergian ke Piala Dunia 2006 di Jerman karena dinyatakan bersalah atas kejahatan yang berhubungan dengan sepak bola.


6. The Red Army

Manchester United adalah salah satu klub sepakbola terbesar dengan permainan yang indah, sehingga supporter fanatik mereka, The Red Army, dapat dikatakan memiliki jumlah terbesar dengan tingkat Hooliganisme tinggi di Britania.

Sementara nama The Red Army juga digunakan untuk merujuk kepada fans Man U pada umumnya, pada pertengahan 70-an nama itu menjadi identik dengan beberapa insiden menentukan dalam hooliganisme Inggris.

Bentrokan massal terekam pada tahun 1985. Kala itu The Red Army berseteru dengan Hooligan West Ham disekitaran kota Manchester.


7. Chelsea Headhunters

Dihubungkan dengan Klub kota London, Chelsea, Headhunters merupakan klub Hooligan rasis yang juga kadang di kaitkan dengan Front Nasional dan Paramiliter Combat 18.

Pada 1999, headhunter telah disusupi oleh seorang reporter BBC yang menyamar sebagai anggota tapi punya tato singa yang salah (Fans berat Chelsea pasti tau Logo Singa Chelsea) - kesalahan berisiko yang membuat geram para Headhunters.

Mantan pimpinan Headhunters, Kevin Whitton, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 1985 setelah melakukan suatu serangan yang dianggap sebagai salah satu insiden hooliganisme sepak bola terburuk yang pernah ada di Inggris. Ketika itu Chelsea mengalami kekalahan, Whitton dan lainnya masuk ke sebuah Bar sambil berteriak, "Perang, perang, perang!!". Beberapa menit kemudian manager bar yang berasal dari Amerika tersungkur sekarat dan seorang Hooligan berteriak kepadanya, "Kalian orang Amerika datang ke sini dan mengambil pekerjaan kami!"

Sejarah Barra brava


Barra brava adalah nama untuk kelompok pendukung terorganisir dari tim sepak bola di Amerika Latin. Gaya mendukung mereka sangat mirip dengan ultras Eropa. Aksi mereka termasuk berdiri sepanjang pertandingan, bernyanyi dan perilaku antusias lainnya.

Beberapa barra bravas telah mengembangkan reputasi mereka sebagai hooligan versi Amerika Latin dan terkait dengan beberapa kelompok hooligan di Eropa. Fenomena ini berasal dari Argentina, Cili dan Uruguay pada 1950-an dan 60-an, tetapi telah menyebar ke seluruh Amerika pada tahun 1990. Di Brazil, kelompok yang sama bernama torcida di Meksiko, istilahnya bisa jadi barras dan porras.

Barras Bravas, demikian julukan bagi organisasi supporter bergaris keras di Amerika Latin. Argentina di samping Chile, Bolivia, dan Peru terkenal sebagai Negara yang memiliki anggota Baras Bravas terbesar di Amerika Latin.


Mereka yang menjadi bagian dari Barras Bravas tidak hanya seenak perut bertelanjang dada di bangku penonton sambil meneriakkan yel-yel bagi tim kesayangannya, tetapi juga tidak jarang berbuat ulah (www.barra-brava.com)

Di Argentina sebagian Barras Bravas yang terkenal brengseknya adalah supporter Indpendiente, Boca Juniors, River Plate dan Estudientes. Mereka tidak hanya menabuh gendang, meniup terompet, menyalakan dan melempar kembang api. Tetapi lebih dari itu mereka berani membuka pakaian seenaknya di tribun penonton  sampai menampakkan pantat-nya.

Jika mau disejajarkan, maka  Barras Bravas bisa disamakan dengan Ultras atau hooligan di Eropa. Fanatisme yang berlebihan pada tim kesayangan membuat  Barras Bravas rela melakukan apa saja demi dan untuk tim-nya. Mereka tidak hanya sekedar fans tetapi sudah melampauinya (ultra). Maka tepat disebut Ultras (Ultra-Fans).
Berikut Ini adalah beberapa Nama Grub barraBrava Dari argentina:# Klub Atlético Independiente - Los Diablos rojos (The Red Devils)# Club Atlético Boca Juniors - La 12 /El Jugador Número 12 ( The 12/The 12th player ) # Club Atlético River Plate - Los Borrachos del Tablón ( The Drunkards of the Stand )# Club Atlético San Lorenzo de Almagro - La Butteler ( The Butteler )# Racing Club de Avellaneda - La Guardia Imperial ( The Imperial Guard ) # Club Atlético Rosario Central - Los Guerreros ( The Warriors )# Club Atlético Newell's Old Boys - La Hinchada Más Popular ( The Most Popular Braggers ) # Club Atlético Colón - Los de Siempre ( Those of Always )# Club Atlético Talleres - La Fiel ( The Faithful )# Club Atlético Belgrano - Los Piratas Celestes de Alberdi ( The Sky blue Pirates of Alberdi )# Instituto Atlético Central Córdoba - Los Capangas ( The Capangas ) # Club Atlético Vélez Sársfield - La Pandilla ( The Gang )# Club Ferro Carril Oeste - La Banda 100% Caballito ( The 100% Caballito Band )# Club de Gimnasia y Esgrima La Plata - La 22 ( The 22 )# Club Atlético Huracán - La Banda de la Quema ( The Quema Band )# Club Atlético Racing de Córdoba - Agrupación Albiceleste ( Dawn and Sky blue Grouping )# Club Atlético Tucumán - La Inimitable ( The Inimitable )# Club Atlético San Martín - La Brava ( The Brave )# Club Atlético Chacarita Juniors - La Famosa Banda de San Martín ( The Famous San Martín Band )# Club Sportivo Independiente Rivadavia - Los Caudillos del Parque ( The Park Chieftains ) # Club Deportivo Godoy Cruz Antonio Tomba - La Banda del Expreso ( The Band of the Express )# Club Sportivo Desamparados - La Guardia Puyutana ( The Puyutian Guard ) # Club Atlético San Martín de San Juan - La Banda del Pueblo Viejo ( The Pueblo Viejo Band )# Asociación Mutual Social y Deportiva Atlético de Rafaela - La Banda de los Trapos ( The Band of the Flags )# Club Atlético Nueva Chicago - Los Perales ( The Perales )# Club Atlético Lanús - La Barra 14 ( The Barra 14 )# Club Deportivo Morón - Los Borrachos de Morón ( The Morón Drunkards ) # Club Atlético Tigre - La Barra del Matador ( The Barra of the Killer ) # Club Atlético Aldosivi - La Pesada del Puerto ( The Heavy of the Port )# Club Almirante Brown - La Banda Mirasol ( The Mirasol Band )# Club Atlético Banfield - La Banda de Villa Niza ( The Villa Niza Band )# Club Atlético Los Andes - La Banda de Lomas ( The Lomas Band )# Asociación Atlética Argentinos Juniors - Los Ninjas 82 ( The Ninjas 82 )# Club Atlético All Boys - La Peste Blanca ( The White Pest ) # Arsenal de Sarandí Fútbol Club - La Mafia ( The Mafia )

SEJARAH ULTRAS DAN ULTRAS INDONESIA


Sejarah ULTRAS dan ULTRAS INDONESIA

Ultras diambil dari bahasa latin yang mengandung artian ‘di luar kebiasaan’. Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.

“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else “.

Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.

Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’

Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.

Dalam tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.

Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.

Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti facism, dankomunism socialism
.

Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.

Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!

Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.

Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya (terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.

Namun sebenarnya ultras tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris. Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang ada yang kanan, kiri, merah, dsb…Tapi yang tidak bermain politik juga ada.

Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.

Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.

Suporter Indonesia Rasa Ultras
Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan berwarna.

Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!

Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras Persija,Orange Street Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM Jogjakarta), sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya… Saat supporter berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari nilai2 ultras… saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak diperlukan

Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri… terkadang  beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan arti ultras oleh mereka…(narsisme)… Di Luar Negri (Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG  manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR…Team Sepakbola yang saya dukung  Bisa didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA…Tetapi jika mendukung lebih dari satu  team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll

Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua klub punya julukan bagi suporter mereka.

Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia “hanya” memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang indah..

Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah kepemimpinan Yang “Terhormat” Nurdin Halid!

Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.

Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.
Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.
Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.
Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh,  disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif  yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).

Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!
Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras memiliki arti ‘garis keras’ yang selalu di indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.
Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata ‘ultras’ sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti ‘yang ter-‘. ‘yang paling’. ‘melebihi yang lain’, atau ‘lebih dari biasa’. Bila dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti ‘perusuh’ atau ‘suka berbuat onar’.
Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras
sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras, Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter (termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama kelompok mereka.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!
HOOLIGANS  adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.

Diantara Supporter Persija ada juga  yang memang lahir dari komunitas hardmods, bootbois, skinhead, rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk suatu kelompok yang disebut Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di Inggris, namun disisi lain mereka membakar flare dan membuat syal komunitas, ya mungkin itu kreatifitas mereka, karena mengikuti suatu kultur, lagipula tidak berarti harus mengikuti semua pakem bakunya.
                                    
AGAINST MAFIA FOOTBAL

FUCK MAFIA 'Match Fixing' FOOTBALL

Judi dan Match Fixing di Indonesia :
Benua biru Eropa yang merupakan kiblat dunia sepakbola saat ini sedang disorot tajam. Temuan Europol (interpol-nya Eropa—Red) akan adanya indikasi pengaturan skor secara global mengagetkan banyak pihak. Nilai-nilai sportivitas yang selalu dibanggakan bangsa Eropa ternyata tak mampu menghadang serbuan kartel mafia pengaturan skor yang diduga berbasis di Singapura.
Bagaimanapun juga, pengaturan skor tak lepas dari adanya taruhan atau judi bola. Perkembangan zaman dan teknologi yang begitu cepat menjadikan pola taruhan judi bola semakin beragam. Jika dulu untuk bisa memasang taruhan orang harus berusah payah mengantre dan membeli kupon di agen, kini kita hanya tinggal duduk manis di depan komputer dan mengeluarkan sedikit tenaga untuk mengklik mouse. Judi bola online di internet membuat semuanya lebih mudah.
Pertandingan sepakbola yang dijadikan bahan taruhan pun semakin beragam, dari liga-liga Eropa, Amerika hingga Asia. Indonesia pun tak terkecuali. Semenjak tiga tahun silam, banyak pertandingan lokal baik itu ISL maupun IPL, yang selalu dijadikan match taruhan. Tak tanggung-tanggung, pertandingan klub-klub divisi satu yang namanya mungkin namanya masih asing terkadang dijadikan pula bahan taruhan online.
Karena itu tak menutup kemungkinan pengaturan skor pun terjadi di Indonesia. Benar atau tidak, faktanya sejarah sepakbola Indonesia memang tak habis-habisnya didera isu judi dan pengaturan skor. Taruhan judi bola dan pengaturan skor sesungguhnya bukanlah barang baru di Indonesia.
Sugiarta Sriwibawa bertutur beberapa menit sebelum laga Persis Solo versus PSIM Yogyakarta tahun 1930an, banyak bandar dan petaruh yang didominasi etnis Jawa, China dan peranakan Arab berkeliaran di stadion Sriwedari. Mereka tak sabar melihat starting eleven yang akan diturunkan. Jika pemain inti absen, dipastikan uang taruhan yang dipasang pun akan sedikit jumlahnya. Saat pertandingan dimulai, mereka berkumpul di pojok kiri tribun timur. (Varieta Nostalgia, Setengah Abad PSSI, hal 73).
Di era tahun itu, selain untuk memuaskan nafsu petaruh, hasil dari taruhan biasanya digunakan untuk mendanai operasional klub. Hasil penjualan karcis penonton memang menghasilkan, tapi setelah dipotong pajak penonton, pendapat yang didapat tidaklah seberapa. Karenanya, pemasukan sampingan yang bisa dikeruk berasal dari taruhan. Itulah secarik cerita di zaman kolonialime.
Totalisator Demi Pembangunan Negara
Memasuki tahun 1950an, legalitas taruhan judi bola bukan hanya sekadar disahkan, tapi bahkan negara langsung yang mengelolanya. Bahasa "sopan" yang dipakai pemerintah terkait program ini adalah Totalisasitor Negara -- tapi orang lebih akrab dengan sebutan "judi toto".
Soekarno beralasan, guna mengembangkan dunia olahraga maka diperlukan dana segar yang tak mungkin bisa diambil dari kas negara yang jumlahnya sangat minim -- maklum, umur Indonesia baru seumur jagung. Salah satu jalan adalah dengan melegalkan perjudian. Hasil dari judi toto ini memang memberi manfaat yang besar membantu perkembangan olahraga nasional. Pembangunan sarana, prasarana dan suplai dana operasional beberapa cabang olahraga, membuat kalangan olahragawan mendukung penuh apa yang dilakukan Soekarno.
Pertandingan yang ditaruhkan toto sangatlah beragam, dari sepakbola hingga pacuan kuda, dari tingkat pertandingan kecamatan hingga laga persahabatan internasional. Judi toto tak pandang bulu level pertandingannya. Jika menarik, maka akan dipertaruhkan.
Di Bandung bahkan pernah diadakan suatu turnamen yang diniatkan sebagai pesta bagi para maniak judi yaitu "Turnamen Toto". Turnamen ini mempertemukan dan diikuti oleh antarklub internal/anggota Persib. Turnamen Toto yang digelar tiap tahun ini diselenggarakan di Lapangan Tegallega. Turnamen yang sudah muncul sejak 1951 ini baru berhenti di tahun 1979 -- berlangsung sekitar 28 tahun.
Untuk meredam resistensi kalangan agamawan yang selalu berteriak lancang mengharamkan judi toto, terkadang hal-hal yang berbau sosial pun dijadikan bumbu manis agar orang memasang taruhan judi toto.
Di bawah ini terpampang secuplik iklan di suratkabar di bawah tajuk "Sajembara Tebakan". Seperti terlihat dalam gambar, taruhan judi ini berlaku untuk pertandingan persahabatan antara Persib Bandung melawan Salzburg dari Austria yang digelar di Lapangan Ikada, Jakarta. Persib kalah 0-3 dari tim tamu dalam pertandingan yang disaksikan oleh Menteri Luar Negeri Soenario, Menteri Ekonomi Roeseno dan Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri. Iklan itu menyebutkan: semua pendapatan bersih dari taruhan ini akan diserahkan sepenuhnya kepada Palang Merah Indonesia (PMI).
Yang membuat judi toto ini sukar untuk dilawan adalah antusiasme publik terhadapnya. Penelusuran kami terhadap halaman-halaman olahraga surat kabar di masa itu menunjukkan luasnya penerimaan publik terhadap judi toto. Bagi para pengelola klub atau pengurus sepakbola, judi bola ini memberi harapan baru dalam soal pemasukan. Jika uang tiket hanya mungkin datang dari para penggemar fanatik sepakbola yang datang ke stadion, judi toto memungkinkan orang yang tidak menggemari sepakbola sekali pun bisa memberikan sumbangan finansial.
Kritik terhadap merambahnya judi ini bukannya tidak ada. Di masa itu pun sudah banyak catatan mengenai efek merusak judi sepakbola terhadap para pemain dan jalannya pertandingannya. Inilah sisi pedang lain dari judi toto dalam sepakbola.
Raden Ading Affandi (masyhur dengan inisial RAF), seorang intelektual Sunda yang mahir menulis dan sekaligus seniman, pernah menulis sebuah artikel yang menjelaskan bagaimana judi toto mempengaruhi sepakbola, terutama menjadi beban moral bagi para pemain sepakbola. Berikut petikan catatan RAF sebagaimana terbaca dalam buku HUT Persib 25 Tahun [terbit tahun 1958]:
"Di masa-masa itu, sering terjadi dalam sebuah pertandingan para pemain enggan untuk mengambil tendangan pinalti dan malah silih saling menunjuk satu sama lain untuk menjadi eksekutor.
"Mereka bukan takut untuk gagal, tapi karena sebab lain. Teriakan-teriakan dari penonton lah yang membuat asa keenganan itu. Jika pemain gagal sudah pasti ada saja tukang taruhan yang berteriak sang ekeskutor kena suap: 'Hai kau dapat bung? Berapa ribu bung?' Perkataan yang jijik dan menyakitkan.
"Sebenarnya momen ini tak hanya saat pinalti saja, dalam seluruh permainan, pemain dikejar-kejar oleh momen menakutkan. Saat salah mengoper, menyundul, tendangan yang melenceng dll selalu saja disambut para petaruh dengan teriakan jijik dan jahat.
"Sungguh tragis memang bahwa uang sedemikian dalamnya mempengaruhi sepakbola. Konsentrasi pemain pikiran selalu diganggu oleh kemarahan dan sakit hati para petaruh."
Kondisi ini, menurut RAF, menjadi faktor yang menghambat persepakbolaan nasional. Di satu pihak ada yang ingin melakukan olahraga dengan idealisme murni, di lain pihak ingin melenyapkan idealisme itu dan menganggap olahraga adalah melulu soal keuntungan duit. Bahaya terbesarnya adalah para pemain pun tergoda untuk menjadi bagian dari pengaturan skor, terlebih saat itu penghasilan sebagai pemain bola masih jauh dibandingkan dengan sekarang.
Pengakuan Rukma, pemain Persib dan langganan utama tim nasional di akhir era 1950an sampai 1960-an [selalu jadi starter di era Pogacnik], bisa menggambarkan hal ini. Dalam wawancara dengan kami, Rukma mengakui bahwa di zaman itu sangat biasa para pemain ikut memasang taruhan di judi toto. Anda bisa mengira sendiri betapa berbahayanya seorang pemain ikut memasang taruhan judi toto di pertandingan yang dia sendiri ikut bermain di dalamnya. [Artikel berikutnya tentang pemain-pemain tenar yang tersangkut kasus suap, termasuk si legendaris, Ramang].
Di dekade 1950an itu, ketika judi toto sedang memuncak pengaruhnya, banyak sekali laporan surat kaleng yang menuliskan data dan informasi mengenai pemain yang terkena suap. Para pengurus klub sudah biasa menerima surat-surat kaleng seperti ini. Sayang laporan itu tak pernah ditindaklanjuti karena minimnya bukti otentik dan pengirim yang anonymous.
Di dekade ini, kendati isu mafia pengaturan skor sudah merajalela, namun pemberitaan mengenai isu ini tidak sering muncul di surat kabar. Artikel RAF yang dikutip di atas pun muncul dalam sebuah buku, bukan surat kabar.
Kondisi itu sedikit berubah saat Indonesia memasuki Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959, saat Soekarno mulai mendominasi kekuasaan. Sebuah tragedi kelam dalam sejarah sepakbola Indonesia, saat Indonesia sedang getol-getolnya mengampanyekan nasionalisme dan patriotisme, muncul menjelang Asian Games 1962. Itulah kali pertama isu mafia pengaturan skor berhasil diungkap dan dibuktikan.